Senin, 27 Juni 2011

Lampu Kuning bagi Pedagang Tradisional

Menteri koperasi dan usaha kecil menengah, Syarif Hasan menyakini, lima tahun mendatang di Indonesia, sudah tidak ada lagi pasar tradisional.kenyataan itu terjadi karena perekonomian rakyat sudah semakin meningkat dan muncul motivasi kebutuhan baru dari masyarakat.
Menteri Syarif hasan pernah menyampaikan bahwa pasar modern adalah pengganti dari pasar tradisional. Seiring dengan terus meningkatnya kemampuan masyarakat, tak aka nada yang mempermasalahkan bentuk pasar tersebut. Terkait dengan keberadaan pritel modern, sudah diatur oleh menteri.
Implementasinya dilakukan oleh pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi, maupun kabupaten dan kota. Jika dalam semangat otonomi daerah, pemda konsisten menerapkan peraturan tersebut, terutama soal tatalaksananya, pasti tidak akan menimbulkan masalah dengan pasat tradisioanal yang  sudah ada.
Terus untuk meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat, kelak, akan muncul motivasi kebutuhan baru. Kenyataan itu yang membuat pasar modern sekarang, menjadi pasar tradisional. Sebenarnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Keberadaan peritel modern yang semakin mendekat ke masyarakat, misalnya, akan mematikan pasar tradisioanal.
Yang penting, bagaimana pengaturannya. Di jepang yang namanya pasar tadisional, tidak ada lagi. Sejauh ini, munculnya kekhawatirankeberadaan pritel modern yang semakin masuk ke pemukiman, karena tumpang –tindih kebijakan antara unit kerja terkait dalam hal penerbitan izin usaha dan pendirian bangunan.
Persoalan pasar modern dan pasar tradisional, dewasa ini, memang masih menjadi isu hangat. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, bakal menutup 27 minimarket yang melanggar peraturan karena berjarak 100 meter dari pasar tradisioanl. Pasar modern itu melanggar peraturan daerah nomor 2 tahun 2002 tentang perpasaran swasta.
Kota solo di Jawa Tengah, untuk sementara, tertutup bagi pengusaha minimarket barusebagai upaya daerah melindungi pedangang kecil. Padahal di Solo hanya terdapat 12 minimarket. Berdasarkan penelitian, berdirinya minimarket tersebut telah berdampak pada turunya omzet pedangang kecil disekitar pasar modern itu.
Begitupun yang terjadi di Makassar terjadi persaingan antara pasar modern dan pasar tradisional. Beberapa peritel nasional telah membuka gerainya hingga puluhan unit. Selain itu, sejumlah pengusaha local ikut pula membuka pasar modern. Memang belum diketahui dampak kehadiran pasar modern tersebut terhadap kegiatan pasar tradisional.
Walaupun begitu, beberapa lembaga swadaya masyarakat mulai menyuarakan keluhan dari pedangang di pasar tradisional. Yang pasti pemerintah tak mengiginkan pasar tradisional hilang di tengah masyarakat. Itu sebabnya, menteri perdagangan , Mari Elka Pangestu, mengungkapkan bahwa pemerintah merencanakan alokasi anggaran untuk program revitalisasi pasar tahun 2012 sebesar RP. 700 Miliar.
Pemerintah melaksanakan program revitalisasi menyusul sekitar 95 persen dari 4.000 pasar tradisional, kondisi fisiknya tidak layak lagi untuk di fungsikan. Sepuluh dari 120 pasar tersebut akan menjadi pasar percontohan. Pengembangan pasar untuk rakyat secara komprehensif, tidak hanya fisik pasar, tetapi pengolahan pasar dan pedangang juga dibenahi.
Dengan begitu, kehadiran pasar tradisional yang memiliki tata kelolah baik serta memperhatikan budaya dan sejarahnya, akan tetap eksis. Kalaupun pasar modern bertambah banyak, pasar tradisionaltetap hadir bagi masyarakat tradisional.

Rabu, 22 Juni 2011

ARTIKEL PENDIDIKAN

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran yang juga berdampak di berbagai daerah khususnya di kabupaten Barru. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.